Jumat, 11 November 2022

HUKUM PROGRESIF

PW. St. Yosafat, Uskup dan Martir
Lukas 18: 1-8

Hukum Progresif.

MASIH ingat kasus Nenek Minah (55 thn) yang didakwa mencuri 3 buah kakao di Ajibarang, Banyumas dan dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari penjara oleh hakim? Nenek miskin ini sedang memanen kedelai di lahannya. Ia melihat ada 3 buah kakao di lahan garapan PT RSA. Ia memetik dan digeletakkan di bawah pohon kakao. Namun perbuatan itu diketahui mandor dan besuknya dia dilaporkan ke polisi dengan tuduhan mencuri kakao.  Nenek Minah hanya pasrah menerima hukuman. Menurut pakar hukum, penerapan hukum di Indonesia terlalu menekankan perspektif hukum positif. Semestinya harus juga melihatnya dari segi perspektif hukum progresif. 

Penegakan hukum sering mengingkari rasa keadilan. Maka ada orang yang berkata, “Dewi Keadilan itu pedangnya lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.”
Hukum akan sangat tajam jika berhadapan dengan orang miskin, lemah, tidak berdaya dan tidak punya kuasa. Namun tidak berdaya alias tumpul jika berhadapan dengan orang kaya, punya kuasa dan power. Orang miskin sering pesimis melaporkan kasusnya. Mereka beranggapan, “lebih baik kehilangan seekor kambing, daripada melapor malah kehilangan seekor sapi.” Dalam sila keempat Pancasila sebetulnya ada solusi yang ditawarkan yakni prinsip musyawarah untuk mufakat. Namun orang banyak lupa penerapan pada sila ini. Mereka lebih menekankan aturan hukum positif dan tidak mau repot-repot bermusyawarah. Akibatnya rasa keadilan sering dikesampingkan seperti yang dialami Nenek Minah.

Dalam Injil Yesus memberi contoh seorang hakim yang tidak hanya menerapkan hukum positif, namun berani membela dan membenarkan seorang janda yang datang kepadanya. 
Walaupun nampaknya motif hakim itu tidak mau diganggu oleh kasus janda itu, tetapi dia juga menggunakan hati nuraninya untuk menolong si janda. Hukum progresif merupakan pemikiran hukum yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo. Beliau berpandangan bahwa hukum dibuat untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Jadi lebih mengutamakan manusianya, bukan aturan atau hukum yang dibuat oleh manusia. Dalam hal ini, Yesus juga menerapkan prinsip hukum progresif saat Dia berkata, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat. Jadi Anak Manusia adalah Tuhan, juga atas hari Sabat.”

Didambakan seorang penegak hukum yang mampu mengembangkan pendekatan integratif, bukan melulu penerapan hukum positif, tetapi juga memikirkan rasa keadilan. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tetapi justru tumpul ke atas. Kalau seorang hakim yang lalim saja bisa membenarkan janda yang terus menerus memohon kepadanya, apalagi Allah yang mahakasih dan mahaadil, pasti tidak akan mengulur-ulur waktu untuk menolong orang yang tekun dan rajin berdoa meminta kepada-Nya. Jangan jemu-jemu untuk terus berdoa kepada Tuhan.

Menikmati udara di pagi hari,
Sungguh segar dan sehat di hati.

Doa yang tiada pernah berhenti,
Tuhan akan segera memenuhi janji.

Cawas, doa tak pernah berhenti....
Rm. A. Joko Purwanto, Pr