Puncta 19.03.23
Minggu Prapaskah IV
Yohanes 9: 1-41
Minggu Prapaskah IV
Yohanes 9: 1-41
Hingar Bingar Menyambut Orang Bertobat
Tuhan menciptakan manusia itu berbagai macam bentuk, paras dan kelebihan serta kekurangan masing-masing. Di hadapan Tuhan, manusia adalah sama, yang membedakan adalah laki-laki dan perempuan, namun manusia memiliki kesempatan yang sama. Kali ini kita akan membahas tentang pertobatan, kata tersebut berasal dari kata dasar tobat, yang artinya menyesali sesuatu dan hendak memperbaikinya. Lakukanlah yang bisa kita lakukan untuk Tuhan, sebab bilamana waktunya tiba, kita tidak lagi bisa mengulur waktu, pekerjaan dan sebagainya. Karena jika Tuhan sudah berkehendak untuk kita harus menghadap, yang kita harus siap dan menghadap-Nya.
Kali ini kita akan menyimak kisah dari pewayangan yang bertemakan cerita "RAMA DAN SINTA", siapakah mereka. Simak saja di sini:
RAHWANA mempunyai tiga adik yaitu Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana. Hanya Gunawan yang tidak mendukung Rahwana menculik Sinta. Gunawan selalu mengingatkan agar kakaknya mengembalikan Sinta kepada suaminya, Ramawijaya, atau dikenal dengan sebutan Sri Rama. Gunawan akhirnya pergi ke pihak musuhnya dan membela Ramawijaya. Ia memilih berpihak pada kebenaran. Rahwana marah dan menghujat Gunawan karena dianggap berkianat.
Sebaliknya di pihak Rama, Gunawan disambut dengan puji-pujian yang gegap gempita. Gunawan disanjung setinggi langit.
Begitu pula kalau ada seorang artis atau tokoh pindah keyakinan. Dia disambut dengan gegap gempita dan digembar-gemborkan kemana-mana.
Orang tidak melihat bagaimana proses pertobatannya, tetapi yang dilihat hanya sisi lahiriahnya saja. Yang penting itu bukan ganti bajunya, tetapi kesaksian hidupnya yang membawa damai dan kesejukan bagi semua manusia.
Apa gunanya punya keyakinan baru kalau kemudian hanya merobek-robek baju yang dipakai sebelumnya? Yang dicari mungkin bukan kebenaran iman, tetapi popularitas dan pundi-pundi berjalan.
Bacaan hari Minggu ini menggambarkan bagaimana proses orang buta sejak lahir yang menemukan kebenaran iman dalam Yesus. Ia mengalami kasih Tuhan yang telah memelekkan matanya. Peristiwa mukjizat ini mendewasakan imannya.
Penyembuhan orang buta ini menimbulkan pro dan kontra. Kaum Farisi menuduh Yesus tidak taat aturan hari Sabat. Maka tidak mungkin orang yang tidak taat aturan berasal dari Allah. Tetapi yang lain bertanya, bagaimana orang yang tidak datang dari Allah mampu membuat mukjizat?
Mereka bertanya kepada si buta siapa menurutnya orang yang telah menyembuhkan matanya.
Pada awalnya, orang buta itu menyebut, “Orang yang disebut Yesus itu.” Dengan adanya perdebatan itu, si buta merumuskan imannya, “Dia adalah seorang nabi.” Proses imannya terus berkembang.
Keluarganya pun diminta untuk memberi kesaksian. Orangtuanya meminta agar anaknya sendiri yang mempertanggungjawabkan imannya karena dia sudah dewasa. Iman harus dipertanggungjawabkan bahkan jika menghadapi tantangan.
Orang buta itu menunjukkan kedewasaan imannya. Oleh karenanya dia dikucilkan, dijauhi dan disingkirkan oleh kaum Farisi. Dia tidak mundur dan dengan berani bahkan memberi kesaksian.
Dia bersaksi, “Aneh juga bahwa kamu tidak tahu dari mana Dia datang, padahal Dia telah memelekkan mataku. Kita tahu bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya.
Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta. Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa.”
Karena kesaksiannya itu dia diusir. Orang yang membela kebenaran pasti tidak disukai. Ia akan disingkirkan. Sungguh aneh bahwa kita justru suka mendengarkan orang yang ngaku bertobat tetapi kotbahnya suka menjelek-jelekkan, menghina dan menebarkan kebencian.
Orang buta itu berani membela kebenaran imannya, walau pun dia disingkirkan. Dalam kondisi seperti itu Yesus meneguhkan imannya, “Percayakah engkau kepada Putera Manusia?” Kata orang itu, “Aku percaya, Tuhan.” Ia sujud dan menyembah Yesus. Orang buta itu percaya dan menemukan kebenaran yang sejati. Ia mempertanggungjawabkan imannya dengan bersaksi melalui perbuatan-perbuatan baik.
Bagaimana proses beriman kita kepada Tuhan yang mahakasih? Beranikah kita bersaksi dan mempertanggungjawabkan iman kita?
Kudanya lempoh sampai di Ungaran
Iman kita terus berkembang
Siap bersaksi demi wujudkan kebenaran
Cawas, iman terwujud dalam perbuatan baik.
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar