Beberapa era sejarah
Katolik yang ada di Indonesia sebagai berikut:
a. Era
VOC
Sejak kedatangan dan kekuasaan Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia tahun 1619-1799, akhirnya mengambil
alih kekuasaan politik di Indonesia, Gereja Katolik dilarang secara mutlak dan
hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk VOC yaitu Flores dan
Timor.
Para penguasa VOC beragama Protestan, maka
mereka mengusir imam-imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan menggantikan
mereka dengan pendeta-pendeta Protestan dari Belanda. Banyak umat Katolik yang
kemudian diprotestankan saat itu, seperti yang terjadi dengan
komunitas-komunitas Katolik di Amboina.
Imam-imam Katolik diancam hukuman mati, kalau
ketahuan berkarya di wilayah kekuasaan VOC. Pada 1924, Pastor Egidius d'Abreu
SJ dibunuh di Kastel Batavia pada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen, karena mengajar agama dan merayakan Misa Kudus di penjara.
Pastor A. de Rhodes, seorang Yesuit
Perancis, pencipta huruf abjad Vietnam, dijatuhi hukuman berupa menyaksikan
pembakaran salibnya dan alat-alat ibadat Katolik lainnya di bawah tiang
gantungan, tempat dua orang pencuri baru saja digantung, lalu Pastor A. de
Rhodes diusir (1646).
Yoanes Kaspas Kratx, seorang Austria,
terpaksa meninggalkan Batavia karena usahanya dipersulit oleh pejabat-pejabat
VOC, akibat bantuan yang ia berikan kepada beberapa imam Katolik yang singgah
di pelabuhan Batavia. Ia pindah ke Makau, masuk Serikat Jesus dan meninggal
sebagai seorang martir di Vietnam pada 1737.
Pada akhir abad ke-18 Eropa Barat diliputi
perang dahsyat antara Perancis dan Britania Raya bersama sekutunya
masing-masing. Simpati orang Belanda terbagi, ada yang memihak Perancis dan
sebagian lagi memihak Britania, sampai negeri Belanda kehilangan kedaulatannya.
Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Lodewijk atau Louis
Napoleon, seorang Katolik, menjadi raja Belanda. Pada tahun 1799 VOC bangkrut
dan dinyatakan bubar.
b. Era
Hindia-Belanda
Perubahan politik di Belanda, khususnya
kenaikan tahta Raja Lodewijk, seorang Katolik, membawa pengaruh yang cukup
positif. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah. Pada tanggal 8 Mei
1807 pimpinan Gereja Katolik di Roma mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon
untuk mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia.
Pada tanggal 4 April 1808, dua orang Imam
dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor Jacobus Nelissen, Pr dan
Pastor Lambertus Prisen, Pr. Yang diangkat menjadi Prefek Apostolik pertama
adalah Pastor J. Nelissen, Pr.
Gubernur Jendral Daendels (1808-1811)
berkuasa menggantikan VOC dengan pemerintah Hindia Belanda. Kebebasan beragama
kemudian diberlakukan, walaupun agama Katolik saat itu agak dipersukar. Imam
saat itu hanya 5 orang untuk memelihara umat sebanyak 9.000 orang yang hidup
berjauhan satu sama lainnya. Akan tetapi pada tahun 1889, kondisi ini membaik,
di mana ada 50 orang imam di Indonesia. Di daerah Yogyakarta, misi Katolik
dilarang sampai tahun 1891.
c. Van
Lith
Misi Katolik di daerah ini diawali oleh
Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke Muntilan pada tahun 1896. Pada awalnya
usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904
tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan
mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggal 15 Desember
1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata
air Semagung yang terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah
ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono.
Romo van Lith juga mendirikan sekolah guru
di Muntilan yaitu Normaalschool di tahun 1900 dan Kweekschool (Sekolah
Pendidikan Guru) di tahun 1904.
Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan
dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di
Indonesia adalah bekas siswa Muntilan. Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik
berkembang pesat.
Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari
Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914
ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ,
A. Djajasepoetra, SJ, dan Alb. Soegijapranata, SJ.
d. Era
Perjuangan Kemerdekaan
Albertus Soegijapranata menjadi Uskup
Indonesia yang pertama ditahbiskan pada tahun 1940. Tanggal 20 Desember 1948
Romo Sandjaja terbunuh bersama Frater Hermanus Bouwens, SJ di dusun Kembaran
dekat Muntilan, ketika penyerangan pasukan Belanda ke Semarang yang berlanjut
ke Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II. Romo Sandjaja dikenal sebagai
martir pribumi dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia.
Mgr. Soegijapranata bersama Uskup
Willekens SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil
mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.Banyak di antara
pahlawan-pahlawan nasional yang beragama Katolik, seperti Adisucipto, Agustinus
(1947), Ignatius Slamet Riyadi (1945) dan Yos Sudarso (1961).
e. Era
Kemerdekaan
Kardinal pertama di Indonesia adalah
Justinus Kardinal Darmojuwono diangkat pada tanggal 29 Juni 1967. Gereja
Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan Gereja Katolik dunia. Uskup Indonesia
mengambil bagian dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).
Paus Paulus VI berkunjung ke Indonesia
pada 1970. Kemudian tahun 1989 Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Indonesia.
Kota-kota yang dikunjunginya adalah Jakarta, Medan (Sumatra Utara), Yogyakarta
(Jawa Tengah dan DIY), Maumere (Flores) dan Dili (Timor Timur).
Sumber :
http://materipaksmk.blogspot.com/2013/09/arti-makna-gereja.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar